Masyarakat moderen dikenal dengan corak pemikirannya yang maju, mereka lebih mengutamakan akal dibandingkan rasa. Inilah yang berkembang di Barat seperti yang dikatakan Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar baru-baru ini pada kuliah umum di STAIN Majene bahwa, Barat lebih mengandalkan rasio daripada rasa, sedangkan di Timur lebih mengandalkan rasa daripada rasio.
Kita melihat peradaban Barat lebih cepat berkembang dan maju karena dominasi akal itu, tetapi minusnya adalah hubungannya dengan alam tidak harmonis, Barat mengeksploitasinya dengan merusak tatanan sumber daya alam yang seharusnya dijaga dan dirawat. Ini terjadi karena Barat mengabaikan rasa dan lebih dominan pada rasio.
Bukan berarti dominasi akal yang telah menjadi kiblat Barat dan masyarakat modern pada umumnya harus ditinggalkan dan mengikuti Timur. Harus diakui pula Barat sangat maju karena dominasi akal itu. Namun tidak cukup hanya dengan mengandalkan akal semata, alangkah baiknya jika akal dan rasa itu dikawinkan dalam membangun peradaban.
Kekuatan rasa juga cukup memberi konstribusi dan dapat menjadi penyeimbang serta daya kontrol dalam pemajuan peradaban. Sebab itulah, Nasaruddin umar mengatakan, kombinasi Barat yang lebih cenderung menggunakan otak kirinya dan Timur yang lebih cenderung menggunakan otak kanannya akan melahirkan peradaban yang gemilang.
Tapi masyarakat moderen saat ini, menjadikan akal sebagai satu-satunya sumber dalam mengelola bumi ini. Orang-orang modern menilai alam dan kemajuan peradaban manusia harus diurus dengan cara-cara berfikir yang moderen, sehingga mereka menapikan kemampuan masyarakat tradisional yang lebih cenderung menggunakan rasa.
Dalam hal kemajuan teknologi dan informasi, masyarakat modern memang unggul, tetapi jangan memandang remeh masyarakat tradisional yang juga memiliki peranan penting dalam pemajuan peradaban manusia, yang bermartabat. Masyarakat tradisional mampu menjaga hubungan yang baik terhadap Tuhan, alam semesta dan seluruh makhluk yang ada di dalamnya. Mereka memiliki kemampuan dalam menjaga dan melestarikan tatanan kehidupan alam. Mereka bersahabat dan memperlakukan alam dengan baik yang tidak dimiliki masyarakat modern.
Dalam disertasi Baharuddin Lopa sebagaimana yang diceritakan Nasaruddin Umar, bahwa ada seorang nelayan suku mandar, sebelum pergi melaut, terlebih dahulu nelayan itu mencelupkan kakinya ke air laut sampai lutut sekitar tiga sampai empat menit. Kemudian nelayan itu berkata, saya tidak boleh melaut, ada pesan dari laut. Akhirnya nelayan itu pulang kembali ke rumahnya. Istrinya bertanya, kenapa pulang? Ada pesan, di sana ada perubahan cuaca walaupun sekarang terang benderang, tapi akan terjadi perubahan cuaca dan gelombangnya lebih dari tiga meter. Kalau diteruskan, itu bisa mencelakakan, kata nelayan itu kepada istrinya.
Jadi, masyarakat tradisional itu tidak membutuhkan teknologi tinggi untuk memahami alam. Alam itu yang membuka dirinya kepada manusia. Nasaruddin Umar juga menceritakan pengalamannya sewaktu menjabat sebagai pembantu dekan II Fakultas Pertanian Al-gazali Makassar. Seorang insinyur pertanian lulusan dari Amerika melakukan kebun percobaan dari tanahnya pak Jusuf Kalla. Seorang pak tua bertanya kepada insinyur itu.
“Ada apa nak? Tanya pak tua.”
“Pak, tebang semua jagunnya, perintah insinyur pertanian itu.”
“Sebentar lagi akan berbunga, respon pak tua.”
“Hasilnya tidak akan bagus, nilai jualnyapun juga rendah. Ini kedelai bibit dari Amerika, jika sudah panen harganya bisa sepuluh kali lipat lebih mahal daripada jagung itu. Insinyur meyakinkan.”
Kemudian pak tua itu mengambil kedelai itu di tangan kanannya dan mengambil tanah di tangan kirinya. Pak tua mencium benih kedelainya tidak sampai satu menit dan mencium tanahnya, pak tua rasakan dan berkata, kedelai ini tidak cocok ditanam di sini. Dengan tegas, insinyur pertanian itu mengatakan, kami sudah berhari-hari meneliti di laboratorium pak. Ditebanglah jagungnya, keledainya ditanami, diberikan pupuk, kemudian tumbuh. Tiga bulan kemudian keledai ditunggu berbuah, tapi buahnya tidak keluar. Akhirnya apa yang terjadi, kedelainya ditebang lagi.
Begitulah masyarakat tradisional, persahabatan mereka dengan alam sangat kuat. Jadi, jangan sekali-kali memandang remeh masyarakat tradisional karena alam membuka dirinya kepada yang bersangkutan.
Pemikiran boleh maju dan itu sebuah keniscayaan, tapi jangan sampai menapikan kekuatan rasa yang dimiliki masyarakat tradisional kita. Rasa yang kuat dapat melembutkan hati dan tumbuhkan nilai-nilai kasih dari dalam diri. Untuk itu, masyarakat modern perlu mentradisionalkan diri dalam hal ini menguatkan rasa sehingga tidak hanya pemikiran yang maju, tapi juga kehidupan yang damai bersama alam semesta dan segenap penghuninya.