Waktu Adalah Umur

Oleh : Ilham Sopi

Dalam salah satu bukunya Prof. Quraish Shihab menceritakan, bahwa ada seorang Kakek yang ditanya oleh seorang Penguasa. "Berapa umur kakek?", tanya Sang Penguasa.  "Sepuluh tahun", jawab Sang Kakek. "Jangan main-main kek", sergah Sang Penguasa. "Benar Tuan, umurku baru sepuluh tahun". "Enam puluh tahun dari usiaku, kuhabiskan dalam dosa dan pelanggaran. Baru sepuluh tahun terakhir ini, aku mengisi hidupku dengan hal-hal yang memakmurkannya", jawabnya.

Menarik dialog di atas. Karena dalam pandangan Sang Kakek, bahwa umur itu bermakna hal-hal yang memakmurkan dalam kehidupan dunia, memakmurkan dalam arti berbuat baik, menjalankan perintah-perintah Tuhan dan menjauhi larangan-larangan Tuhan. Dalam hitungan usia sang kakek, sudah berumur tujuh puluh tahun, sebagian umur kakek lebih banyak berbuat kesalahan atau dosa. Dan memang dari aspek kebahasaan, kata umur seakar dengan kata makmur, yang berarti keduanya menggambarkan kemakmuran, serta kebahagiaan dan kesejahteraan jasmani dan rohani.

Kembali aktu kemarin tidak akan kembali ke hari ini, demikian juga waktu hari ini, akan menyebrang ke hari esok. Waktu akan memakan fisik manusia, semakin bertambah usia akan semakin menurun kekuatan fisik manusia, oleh sebab karena waktu itu sangat berharga, manusia harus mengisi momentum atau mengisinya dengan hal-hal yang memakmurkannya berupa aset-aset atau nilai-nilai untuk kemakmuran di hari-hari yang akan datang.

Itulah sebabnya suatu ketika Nabi, ditanya oleh sahabatnya, siapakah manusia yang terbaik ya, Rasulullah, jawab Nabi, orang yang panjang umurnya dan baik amalnya atau panjang juga amalnya, maksudnya kualitas amalnya bagus. Begitupun sebaliknya, manusia yang jelek, adalah yang panjang umurnya dan panjang juga amal kejelekannya. Begitulah respon Nabi tentang manusia yang terbaik, artinya bahwa waktu yang berjalan terus ini, adalah umur-umur yang sangat berharga yang harus diisi dengan sebaik-baiknya dengan amal kebaikan.

Kegagalan dalam mengisi waktu dengan baik, itu akan bermasalah, kita akan mengalami kebangkrutan atau kerugian besar dalam aspek eskatoligis ke depan, sebagai orang yang beriman yang meyakini adanya kehidupan sesudah kehidupan dunia ini, tentunya akan merasa rugi.

Nabi pernah bertanya kepada para sahabatnya, siapakah orang yang bangkrut itu?, sahabat menjawab bahwa orang yang bangkrut adalah orang yang tidak punya harta lagi, tidak punya simpanan di bank, tidak punya aset lagi, yang sebelumnya ada di mana-mana. Bukan itu yang dimaksud oleh Nabi, tapi bangkrut secara eskatologis, kata Nabi orang yang bangkrut adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa seluruh amal kebaikannya yang begitu banyak, di hadapan Tuhan dia memperlihatkan seluruh amal kebaikannya, mulai dari shalatnya, zakatnya, puasanya, hajinya dan amal-amal kebajikan lainnya.

Tetapi orang ini bermasalah, di satu sisi punya ibadah mahdha yang begitu banyak, namun punya juga problem sosial yang begitu akut. Dia tertahan masuk kedalam surga karena banyak yang protes, akibat perbuatannya yang menyusahkan sesamanya selama di dunia. Banyak orang datang menuntut karena merasa di rugikan selama di dunia. Dia membayar kepada orang-orang yang datang menagihnya dengan amal-amal kebajikan yang kumpulkan selama di dunia. Sampai seluruh amalnya habis akibat banyak sekali yang datang menagihnya. Seluruh amal kebaikannya habis sementara masih ada yang datang menagihnya, kemudian amal-amal kejelekan orang yang datang diserahkan kepada orang yang bermasalah tersebut, kemudian setelah itu dilemparkan ke neraka. Itulah yang oleh Nabi disebut sebagai orang yang bangkrut, karena habis amal pahalanya yang dikumpulkan di dunia, dan diserahkan amal-amal kejelekan dari orang-orang yang menuntut.

Itulah kerugian yang sebenarnya, merasa sangat punya legitimasi untuk masuk kedalam surga, itu menjadi absur karena banyaknya permasalahan sosial yang diperbuat selama di dunia. Jawaban dari sang kakek di atas perlu menjadi perhatian kita, bahwa umur itu hakekatnya adalah hasil perbuatan baik yang lakukan di dunia, sangat menarik jawaban sang kakek bahwa umurnya baru sepuluh tahun padahal usianya sudah mencapai tujuh puluh tahun lebih, umur itu hasil dari kualitas amal-amal baik atau berkualitas selama kita menjalani kehidupan di dunia.

Oleh sebab itu di akhir tahun ini adalah momentum yang paling tepat untuk melakukan evaluasi diri tentang waktu yang kita jalani selama satu terakhir ini. Waktu itu pada hakekatnya adalah umur kita, kita perhatikan betul waktu dari detik ke menit, dari menit ke jam, dari jam kehari, dari hari ke minggu, dari minggu ke bulan dan dari bulan ke tahun. Waktu itu adalah modal yang sangat berharga untuk kita isi dengan amal-amal kebaikan. Kita tentunya ingin menjadi yang terbaik yaitu mengisi waktunya dengan amal-amal bermanfaat, baik amal berkaitan langsung dengan maupun yang berkaitan dengan sesama manusia.

(Bumi Pambusuang, 25 Desember 2024)


Opini LAINNYA

Tahun Baru

Apa Kamu Beriman ?

Uzlah Di Era Modern (Memaknai Tahun Baru)

Prestasi, Bukan Prestise

Menjawab Tantangan Zaman

Mentradisionalkan Masyarakat Modern

Ungkapan Akhir Tahun

Waktu Adalah Umur