Di tengah riuh dunia yang sering membutakan mata dan membungkam hati, Al-Qur’an hadir sebagai pelita abadi yang tak pernah padam.
Ia bukan sekadar bacaan yang dibaca di waktu luang, bukan pula hanya hiasan di rak buku. Al-Qur’an adalah surat cinta Ilahi, pedoman hidup yang menuntun manusia dari gelap menuju cahaya, dari lalai menuju sadar, dari keras hati menuju pekerti yang lembut dan penuh kasih.
Membaca Al-Qur’an bukan sekadar melafalkan huruf-huruf Arab. Ia adalah perjalanan ruhani yang mendekatkan jiwa kepada Sang Pencipta. Allah berfirman:
"Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca Kitab Allah dan melaksanakan salat serta menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi." (QS. Fathir: 29)
Menurut tafsir Ibnu Katsir, ayat ini menjelaskan bahwa orang yang tekun membaca Al-Qur’an dan mengamalkannya dengan ikhlas akan memperoleh keuntungan dunia dan akhirat. Membaca Al-Qur’an adalah bentuk "perdagangan" dengan Allah yang pasti menguntungkan, karena setiap hurufnya bernilai pahala.
Rasulullah ﷺ pun bersabda:
"Barangsiapa membaca satu huruf dari Kitab Allah, maka ia mendapatkan satu kebaikan. Dan satu kebaikan itu dilipatgandakan menjadi sepuluh. Aku tidak mengatakan 'Alif Laam Miim' satu huruf, tetapi Alif satu huruf, Laam satu huruf, dan Miim satu huruf." (HR. At-Tirmidzi, no. 2910)
Begitu besar rahmat-Nya, hingga sekadar membaca saja sudah menjadi jalan menuju surga. Namun, keutamaan itu akan semakin berlipat ganda jika bacaan itu diresapi dan diamalkan.
Menyelami Makna: Menghidupkan Jiwa yang Layu
Betapa banyak dari kita yang membaca Al-Qur’an dengan lancar, namun hatinya belum tersentuh oleh maknanya. Seperti air yang mengalir di atas batu, tidak menetes ke dalamnya. Padahal Allah menegaskan:
"Apakah mereka tidak merenungkan Al-Qur’an? Ataukah hati mereka telah terkunci?" (QS. Muhammad: 24)
Menurut tafsir Al-Jalalain, ayat ini adalah teguran kepada orang-orang yang membaca tanpa merenungkan. Tafakkur (merenung) adalah jembatan antara ilmu dan amal. Ketika seseorang menyelami makna Al-Qur’an, ayat demi ayat akan berbicara langsung ke dalam jiwanya, seolah-olah Allah sedang menasihatinya secara pribadi.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menyebutkan bahwa orang yang hanya membaca Al-Qur’an tanpa memahami maknanya seperti seseorang yang mengirim surat kepada kekasihnya, namun tidak membacanya dengan penuh perhatian:
"Al-Qur’an adalah surat dari Tuhanmu. Maka renungilah ia seolah-olah engkau sedang membaca surat dari seseorang yang paling engkau cintai."
Bahkan Jalaluddin Rumi, sang penyair sufi, menggambarkan Al-Qur’an sebagai taman spiritual yang hanya bisa dinikmati oleh jiwa yang lapar akan makna. Beliau menulis dalam syairnya:
“Al-Qur’an bukan untuk dibaca oleh lidah yang tergesa, melainkan untuk diserap oleh hati yang haus. Ayat-ayatnya ibarat hujan bagi ladang jiwa yang kering.”
Syair Rumi itu mempertegas bahwa makna Al-Qur’an akan tumbuh subur hanya di tanah hati yang siap disirami oleh cahaya ilahi.
Begitu pula Hamka, dalam tafsir Al-Azhar, berkata:
"Jika engkau ingin menemukan makna hidup, bacalah Al-Qur’an dan resapilah. Karena setiap ayatnya adalah nasihat yang tak lekang oleh zaman, penyejuk di kala panasnya cobaan.”
Sejalan dengan itu, Syekh Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah menulis dalam Miftah Dar al-Sa’adah:
"Sesungguhnya dalam Al-Qur’an terdapat taman-taman hikmah. Siapa yang masuk ke dalamnya dengan merenung, ia akan mendapatkan buahnya berupa iman yang hidup dan akhlak yang luhur.”
Makna Al-Qur’an bukan hanya untuk dibaca, tapi untuk dihidupkan dalam diri—agar ia menjadi cahaya yang membentuk sikap, akhlak, dan arah langkah kita.
Teladan Pekerti: Al-Qur’an yang Hidup dalam Pribadi Rasulullah ﷺ
Jika ingin melihat Al-Qur’an dalam bentuk nyata, maka lihatlah pribadi Nabi Muhammad ﷺ. Aisyah radhiallahu 'anha pernah ditanya tentang akhlak Rasulullah, dan ia menjawab: "Akhlak beliau adalah Al-Qur’an." (HR. Muslim, no. 746)
Beliau adalah wujud nyata dari ajaran Al-Qur’an—beliau penyayang, jujur, sabar, rendah hati, dan tegas dalam kebenaran. Bahkan saat dihina dan disakiti, beliau memilih untuk memaafkan. Dalam peristiwa Thaif, ketika beliau dilempari batu dan ditolak, beliau hanya berkata: "Ya Allah, berilah petunjuk kepada kaumku, karena mereka tidak tahu."
Rasulullah mengajarkan bahwa membaca Al-Qur’an bukan sekadar ibadah lisan, melainkan transformasi diri.
Kita pun memiliki banyak teladan dari sahabat. Umar bin Khattab, yang awalnya keras dan kasar, luluh hatinya saat mendengar lantunan QS. Thaha. Ia pun menjadi pemimpin adil yang takut kepada Allah. Itu adalah bukti bahwa Al-Qur’an bisa membalikkan keadaan, melunakkan hati yang keras, dan mengangkat derajat seseorang yang semula terpuruk.
Al-Qur’an sejatinya adalah cermin. Setiap ayatnya bisa menjadi refleksi bagi kita: apakah kita sudah ikhlas? Apakah kita masih bergelimang hasad? Apakah kita sudah benar dalam menyayangi orang tua, menjaga amanah, atau memuliakan tetangga?
"Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus." (QS. Al-Isra: 9)
Maka siapa yang menjadikan Al-Qur’an sebagai teman dekat, ia tak akan kehilangan arah. Siapa yang menjadikannya pedoman, ia akan menemukan cahaya dalam kegelapan.
Olehnya itu, di zaman penuh godaan ini, Al-Qur’an adalah satu-satunya jalan yang tak pernah menyesatkan. Ia lebih dari sekadar bacaan di bulan Ramadan. Ia adalah teman setia di setiap waktu, pelipur lara di tengah gelisah, dan penunjuk jalan ketika dunia menawarkan banyak kebingungan.
Mari kita bukan hanya membaca, tetapi juga memahami, merenungi, dan mengamalkan. Mari kita jadikan Al-Qur’an sebagai napas kehidupan yang melahirkan pribadi-pribadi mulia, keluarga yang tenteram, dan masyarakat yang adil.
Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ: "Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya." (HR. Bukhari, no. 5027)
Hal ini sejalan dengan upaya mulia yang saat ini digagas oleh Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sulawesi Barat, Bapak H. Adnan Nota, melalui program "Gerakan Bebas Buta Aksara Al-Qur’an" (GBBAQ).
Program ini bukan hanya berfokus pada kemampuan teknis membaca huruf hijaiyah, tetapi juga menumbuhkan semangat untuk memahami dan mengamalkan nilai-nilai Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari. Ini adalah ikhtiar besar membangun generasi Qur’ani—yang cerdas secara spiritual, kuat dalam moral, dan tangguh dalam menghadapi zaman.
Mari kita hidupkan Al-Qur’an dalam hati, dalam kata, dan dalam laku. Sebab, jika Al-Qur’an telah bersemayam dalam pekerti, maka dunia akan menjadi tempat yang lebih damai, dan akhirat akan menjadi rumah yang penuh cahaya.