Menjaga Netralitas ASN Pemilu 2024
Bagian Pertama
Busrang Riandhy, S.Ag,.M.H
(Analis Pembinaan Umat/Komisoner Bawaslu Sulbar 2012-2017)
Penyelenggaraan pemilihan umum legislatif (Pileg), pemilihan umum presiden dan wakil presiden (Pilpres), dan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilihan) Serentak Tahun 2024 semakin dekat. Bahkan Tahapan Pemungutan dan Penghitungan Suara Pileg dan Pilpres yang akan dilaksanakan pada tanggal 14 Februari 2024, tinggal menghitung hari.
Salah satu potensi masalah yang sering muncul dalam setiap pagelaran Pemilu dan pemilihan di Indonesia adalah netralitas. Netralitas birokrasi itu bukan merupakan kajian yang baru. Bawaslu mendapat amanah melakukan pengawasan dan penindakan terhadap netralitas birokrasi, sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 93 huruf f Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU 7 Tahun 2017), “Bawaslu bertugas mengawasi netralitas aparatur sipil negara, netralitas anggota Tentara Nasional Indonesia, dan netralitas anggota Kepolisian Republik Indonesia”.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) mengharuskan Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai bagian dari Aparatur Sipil Negara berposisi netral, bebas dari intervensi semua golongan dan partai politik.
Salah satu penyebab tidak terhindarinya keberpihakan ASN pada peserta pemilu dan pemilihan tertentu adalah kepentingan karier. Bukan keinginan dari ASN itu sendiri, biasanya ada “politisi” yang dekat dengan kekuasaan memainkan mereka di belakang layar dengan menjanjikan kedudukan dan jabatan tertentu. Kalau kita melihat secara seksama bentuk ketidaknetralan seorang ASN, justru berasal dari pimpinan yang tidak netral, karena pimpinannya sendiri yang menggerakkan mereka untuk mendukung peserta pemilu.
Ketidaknetralan ASN tentunya akan sangat merugikan negara, pemerintah dan masyarakat. Karena apabila ASN tidak netral, dampak yang paling terasa adalah ASN tersebut menjadi tidak profesional dan justru target-target pemerintah di tingkat lokal maupun di tingkat nasional tidak akan tercapai dengan baik.
Mengutip pernyataan Perdana.G (2019), dalam tulisan “Menjaga Netralitas ASN Dari Politisasi Birokrasi, menyebutkan terdapat ASN yang dengan sadar mengabaikan netralitas guna ingin mencapai tujuan pribadi dengan mendukung pasangan calon tertentu dengan harapan jika dia terpilih, maka ASN tersebut mendapatkan posisi ataupun jabatan tertentu sesuai dengan yang disepakati.
Mengacu pada laporan hasil penanganan pelanggaran Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi Sulawesi Barat pada Pemilu 2019. Tren pelanggaran yang melibatkan ASN cukup tinggi, sebanyak 52 pelanggaran Netralitas ASN dari 297 pelanggaran pemilu yang ditindaklanjuti Bawaslu Provinsi Sulawesi Barat dan Bawaslu Kabupaten. Sedangkan secara nasional, Bawaslu RI mencatat ada sekitar 1.096 pelanggaran terkait netralitas ASN, TNI dan Polri. Jumlah pelanggaran netralitas ASN, hampir sama yang terjadi pada Pilkada Serentak Tahun 2020.
Laporan Kinerja Badan Kepegawaian Negara (BKN) Tahun 2020, menyebutkan bahwa terdapat 1.005 orang ASN yang dilaporkan terbukti melanggar netralitas sebagai ASN pada Pilkada Serentak Tahun 2020. Trend pelanggaran Netralitas ASN dikategorikan sebagai berikut: 1). Kampanye/sosialisasi media sosial (Posting/Comment/Share/Like), 2). Mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan (pertemuan/ ajakan/ himbauan/seruan/dan pemberian barang) termasuk pengunaan barang yang terkait dengan jabatan atau milik pribadi untuk kepentingan bakal calon atau pasangan calon, 3). Melakukan pendaftaran ke parpol terkait pencalonan dirinya atau orang lain sebagai bakal calon kepala daerah/wakil kepala daerah yang dilakukan dengan cara pada jam kerja atau tidak melapor kepada atasan secara tertulis, 4). Menghadiri deklarasi pasangan bakal calon/calon peserta pilkada, 5). Membuat keputusan yang dapat menguntungkan / merugikan pasangan calon selama masa kampanye. 6). melakukan foto bersama bakal calon/pasangan calon dengan mengikuti simbol gerakan tangan/gerakan yang mengindikasikan keberpihakan, 7). Memasang spanduk/baliho yang mempromosikan dirinya atau orang lain sebagai bakal calon kepala daerah/wakil kepala daerah, 8). Mendeklarasikan diri sebagai bakal calon kepala daerah/wakil kepala daerah, 9). Menjadi peserta kampanye dengan memakai atribut partai/atribut PNS/tanpa atribut, 10). Ikut sebagai pelaksana kampanye, 11). Menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik, 12). Mengunakan fasilitas negara yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye, 13). Mengikuti kampanye bagi suami atau istri calon kepala daerah yang berstatus sebagai ASN dan tidak mengambil cuti diluar tanggungan negara, dan 14). Menjadi pembicara/Narasumber/penceramah dalam kegiatan Partai Politik kecuali untuk menjelaskan kebijakan pemerintah yang terkait dengan tugas dan fungsinya atau berkenaan dengan keilmuan yang dimilikinya sepanjang dilakukan dalam rangka tugas kedinasan.
Terhadap 14 (empat belas) kategori diatas, pelanggaran yang sering dilakukan adalah membuat postingan di media sosial. Tindak membuat postingan, komentar atau like adalah suatu bentuk dukungan yang dapat dianggap tidak netral. Tapi tindakan itu tidak dipahami dan dianggap biasa saja oleh sebahagian ASN. Bukti dan jejak digital seorang ASN tak netral akan memudahkan lawan politik peserta pemilu atau seseorang mengadukannya kepada pengawas pemilu atau pihak berwenang yang lainnya.
Modus pelanggaran tersebut, tidak menutup kemungkinan akan terulang kembali menjelang pelaksanaan 3 (tiga) tahapan krusial pemilu yakni pada tahapan kampanye, tahapan pemungutan dan penghitungan suara serta tahapan rekapitulasi suara dalam Pemilu dan Pemilihan Serentak Tahun 2024.