Pertanyaan ini layak kita jadikan bahan renungan, terlebih di bulan suci Ramadhan. Sudahkah kita benar-benar menahan amarah sebagaimana yang diajarkan kepada orang-orang beriman? Ataukah justru Ramadhan menjadi ajang pelampiasan emosi yang sekian lama tertahan?
Jawaban dari pertanyaan ini ada dalam diri kita masing-masing bagi siapa saja yang menjadikan Ramadhan sebagai cermin untuk introspeksi. Jangan sampai kita hanya menahan diri secara fisik dari makan dan minum di siang hari, tetapi setelah berbuka, kita malah melampiaskan segala yang telah tertahan sepanjang hari. Jika demikian, bukankah Ramadhan hanya berubah menjadi sekadar pergeseran jadwal makan, dari pagi hingga malam menjadi dari magrib hingga subuh?
Mari berpikir lebih dalam. Jika Ramadhan hadir untuk menumbuhkan kesadaran dan kepedulian, tidakkah seharusnya kita menjadikan bulan ini lebih dari sekadar rutinitas menahan lapar? Puasa bukan hanya perkara menunda makan, melainkan juga tentang mengasah kepekaan sosial.
Kita bisa belajar menahan diri dengan mengurangi ketergantungan terhadap makanan duniawi dan mengalihkan jatah makan siang yang selama ini kita nikmati sepanjang tahun kepada mereka yang mungkin hanya bisa makan sekali sehari selama hidupnya.
Jika di luar Ramadhan kita terbiasa makan tiga kali sehari atau lebih, mengapa tidak menjadikan bulan suci ini sebagai momentum untuk belajar hidup lebih sederhana? Makan dua kali sehari—saat sahur dan berbuka—sudah cukup. Sisanya? Kita bisa bersedekah, berbagi dengan mereka yang lebih membutuhkan.
Dengan begitu, puasa bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi juga menjadi jalan untuk melatih empati, meredam amarah, dan menumbuhkan kepedulian sosial yang sesungguhnya.
Ramadhan bukan hanya tentang apa yang masuk ke dalam tubuh, tetapi juga tentang apa yang keluar dari hati. Jika kita mampu menahan lapar, mengapa tidak menahan amarah, mengendalikan bahkan mengurangi keinginan pribadi untuk memenuhi kebutuhan saudara kita? Jika kita bisa menahan dahaga, mengapa tidak menahan ego? Pada akhirnya, puasa bukan hanya tentang bagaimana kita mengendalikan perut, tetapi juga tentang bagaimana kita mengendalikan diri.
