Berkomunikasi (2)

H. M. Sahlan (Katim Penais dan SI Kanwil kemenag Sulbar)

Apapun pendapat yang benar, namun yang pasti adalah kemampuan manusia berpikir yang kompleks dan mengkomunikasikannya dengan pihak lain melalui bunyi yakni bahasa, yang merupakan anugerah yang sangat besar. Allah SWT Berfirman di dalam surah Arrahman ayat 1 - 4 : 

اَلرَّحۡمٰنُۙ , عَلَّمَ الۡقُرۡاٰنَؕ, خَلَقَ الۡاِنۡسَانَۙ

عَلَّمَهُ الۡبَيَانَ

"Tuhan pelimpah rahmat, mengajarkan Al-quran, menciptakan manusia dan mengajarnya Al bayan"

Mengajarnya Al-bayan adalah mengajarnya menjelaskan dan berekspresi dalam arti menganugrahkannya potensi untuk mengungkap maksud yang terdapat dalam benaknya. Ini bukan saja sekadar mewujudkan suara dengan menggunakan rongga dada, pita suara dan kerongkongan, bukan juga hanya dalam keanekaragaman suara yang keluar dari kerongkongan akibat perbedaan makharij Al-huruf (tempat-tempat keluarnya huruf) dari mulut, tetapi juga bahwa Allah Yang Maha Esa menjadikan manusia dengan ilhamNya mampu memahami makna suara yang keluar itu. Yang dengannya Dia bisa menghadirkan sesuatu dari alam nyata, betapapun besar atau kecilnya, yang wujud atau tidak wujud, yang berkaitan masa lampau atau datang, serta menghadirkan dalam benaknya hal-hal yang bersifat abstrak yang dapat dijangkau oleh manusia dengan pikirannya walau tidak dapat dijangkau  oleh indranya. Itu semua dihadirkan oleh manusia kepada pendengarnya dan ditampilkan di hadapan indranya seakan-akan pendengarnya itu melihatnya dengan mata kepala.

Tidaklah dapat wujud kehidupan bermasyarakat manusia, tidak juga makhluk ini dapat mencapai kemajuan yang mengagumkan dalam kehidupannya-sebagaimana yang telah dicapai dewasa ini - kecuali dengan kesadaran ini, terbuka pintu yang seluas-luasnya untuk memperoleh pengetahuan dan memberi pemahaman. Tanpanya manusia akan sama saja dengan binatang dalam hal ketidakmampuannya mengubah wajah kehidupan dunia ini.

Pengajaran Al bayan itu tidak hanya terbatas pada ucapan, tetapi mencakup segala bentuk ekspresi, termasuk seni dan raut muka, bahkan juga potensi berpikir, yakni mengetahui persoalan kulli dan juz'i, menilai yang hadir dan juga yang ghaib dengan menganalogikannya dengan yang hadir. Sekali dengan tanda-tanda, di kali lain selanjutnya dengan memandang alam raya serta cara-cara yang lain, sambil membedakan mana yang baik dan mana yang buruk dan semacamnya. Itu semua disertai dengan potensi untuk menguraikan sesuatu yang tersembunyi  dalam benak serta menjelaskan dan mengajarkannya kepada pihak lain.  Sekali dengan kata-kata, dikali lain dengan perbuatan- ucapan-tulisan-isyarat dan lainnya. Dengan demikian manusia tadi mampu untuk menyempurnakan dirinya sekaligus menyempurnakan selainnya.

Satu bunyi yang terucapkan, diibaratkan sebagai satu wadah. Ia boleh jadi berisi makna, boleh jadi juga tanpa makna, atau tanpa makna satu masyarakat tetapi bermakna bagi masyarakat yang lain. Katakanlah bunyi cantik. Bunyi yang merupakan kata dalam bahasa indonesia ini, tidak dikenal dalam bahasa Arab atau Inggris. Bahkan bunyi yang kita lambangkan dengan huruf C pada kata “cantik” bunyi itu tidak dikenal dalam bahasa arab.

Isi satu bunyi kata bisa baik bisa juga buruk. Kita dituntut untuk menggunakan yang isinya baik-baik saja. Di sisi lain, isi satu wadah bunyi (kata), diibaratkan juga dengan benih, katakanlah benih lahirnya anak. Jawaban atau tanggapan atas bunyi tersebut merupakan langkah untuk membuahi benih itu, dan bila ini terjadi akan lahir anak-anak bagi bunyi yang diucapkan, tetapi bila kita diam, tidak menanggapinya maka benih tersebut akan sia-sia, tidak ubahnya seperti ovum yang tidak dibuahi dan keluar sebagai darah bulanan wanita (haid). Allah menghendaki agar kita memilih kata yang berisi kebaikan, cinta, keteladanan dan "membuahinya".

Di sisi lain, kata yang mampu kita komunikasikan, masih merupakan tawanan kita, tetapi begitu kita mengucapkannya, maka dia telah menawan kita. Kita bebas berbicara atau berkomunikasi, tetapi ingatlah bahwa Allah SWT berfirman dalam surah Qaf  Ayat 18

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ اِلَّا لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ

" Tidak ada suatu kata pun yang terucap, melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat) ".

Karena itu, pilihlah waktu untuk berkomunikasi, ucapkan yang singkat tetapi penuh makna. Al quran pun banyak mengecam ucapan manusia, sebagaimana Allah SWT Mengingatkan dalam surah Annisa ayat 114 :

 لَا خَيْرَ فِيْ كَثِيْرٍ مِّنْ نَّجْوٰىهُمْ اِلَّا مَنْ اَمَرَ بِصَدَقَةٍ اَوْ مَعْرُوْفٍ اَوْ اِصْلَاحٍۢ بَيْنَ النَّاسِۗ وَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ ابْتِغَاۤءَ مَرْضَاتِ اللّٰهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيْهِ اَجْرًا عَظِيْمًا

" tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka yang melakukan bisikan, siapapun mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh orang lain memberi sedekah, berbuat ma'ruf yakni kebajikan yang direstui agama dan masyarakat atau mengadakan perdamaian diantara manusia yang berselisih. ".

Mampukah kita berkomunikasi seperlunya dengan komunikasi yang berguna, bukan tong nyaring bunyinya atau menjadi senjata makan tuan. Wallahu A'lam.


Opini LAINNYA

Menolong Allah

Kesalehan Holistik

Berkomunikasi (2)

Nikmat Ingat, Nikmat Lupa

Belajar Kepada Prof. Nasar

Agama Sempurna, Nikmat Cukup

Batasi Pembicaraan

Kyai Husein yang Menginpirasi

Logika Agama