Polewali Mandar – Kementerian Agama terus mengarusutamakan nilai kasih, keberagaman, dan kepedulian lingkungan dalam dunia pendidikan. Hal ini ditegaskan dalam Seminar Kurikulum Berbasis Cinta dan Ekoteologi yang digelar di Polewali Mandar, 4 Oktober 2025.
Farid F. Saenong, MA., M.Sc., Ph.D., Staf Khusus Menteri Agama Bidang Pendidikan, Organisasi Kemasyarakatan, dan Moderasi Beragama, menjadi narasumber utama. Ia menegaskan bahwa semangat moderasi beragama tetap menjadi ruh dari seluruh program Asta Protas Kementerian Agama.
Menurutnya, Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) dan Ekoteologi merupakan bagian dari program prioritas untuk memperkaya, bukan menggantikan, kurikulum yang ada saat ini.
Farid menyayangkan masih adanya salah tafsir terkait Kurikulum Cinta yang dianggap sebagai bentuk penggantian kurikulum lama. Padahal, kata dia, KBC dan Ekoteologi hadir untuk menanamkan nilai kasih, merawat keragaman, dan memperkuat kesadaran ekologis dalam proses pembelajaran.
“Salah satu makna kurikulum cinta adalah tidak memberi ruang bagi penyebaran kebencian. Nilai itu harus diolah menjadi konsep pendidikan yang hidup di ruang kelas,” ucapnya.
Ia juga mencontohkan bagaimana sebagian warisan teologis umat beragama dulu dibentuk dalam konteks peperangan, salah satunya konsep jizyah. Dalam realitas kekinian, pendekatan seperti itu sudah tak relevan.
Sebaliknya, pendidikan harus menumbuhkan kesadaran bahwa perbedaan adalah fakta sosial yang mesti dirawat dengan saling menyayangi, bukan membenci. “Tanpa sadar, kita sering mengajarkan kebencian sejak dini. Yang harus kita tanamkan adalah realitas bahwa kita berbeda dan itu bukan alasan untuk bermusuhan,” tambahnya.
Farid mengangkat kisah solidaritas pasca tragedi penembakan di Selandia Baru, ketika umat Islam dijaga oleh pendeta dan pemuka agama lain saat beribadah. Menurutnya, itulah praktik nyata cinta dan keberagaman yang perlu dicontoh dalam dunia pendidikan.
Ia menekankan bahwa Kurikulum Berbasis Cinta dan Ekoteologi memiliki keterkaitan yang kuat dan bisa diintegrasikan dalam seluruh proses belajar mengajar. Apalagi, isu lingkungan kini menjadi tantangan yang tak kalah mendesak dibanding konflik sosial.
“Masalah lingkungan sudah sama urgentnya dengan isu peperangan. Dunia pendidikan harus hadir dengan cara pandang holistik,” pungkasnya.
Wilayah
Kurikulum Cinta dan Ekoteologi: Memperkuat Moderasi di Ruang Belajar
- Sabtu, 4 Oktober 2025 | 11:12 WIB
