Kasidah: Jembatan antara Islam dan Budaya Nusantara

Ketua Dewan Hakim STQH Nasional, Muchlis M. Hanafi

Kendari (Kemenag) --- Suara rebana menggema lembut di Aula Utama STQH Nasional XXVIII di Kendari, Senin (14/10/2025) sore itu. Irama khas kasidah berpadu dengan lantunan puji-pujian yang mengalun khidmat, seolah menghidupkan kembali suasana dakwah para wali di masa lalu, dakwah yang mengajak dengan nada syahdu.

Ketua Dewan Hakim STQH Nasional, Muchlis M. Hanafi, memberi sambutan pembukaan Festival Seni Budaya Islam “Qasidah Kolaborasi” Tingkat Nasional 2025. Menurutnya, festival ini bukan sekadar ajang hiburan, tetapi ruang untuk menjaga ruh Islam yang penuh cinta sekaligus melestarikan kebudayaan bangsa yang menumbuhkan kedamaian dan harmoni.

Bagi Muchlis, kasidah bukan hanya seni bernada religi. Lebih dari itu, ia adalah jembatan antara Islam dan kebudayaan Nusantara, dua entitas yang sejak berabad-abad lalu berjalan seiring membentuk wajah Islam Indonesia — lembut, toleran, dan berkeadaban.

“Jika kebudayaan dihilangkan, Islam akan kehilangan konteks kemanusiaannya. Sebaliknya, bila Islam ditinggalkan, budaya akan kehilangan arah moral dan spiritualnya. Keduanya saling menghidupi," katanya.

Pernyataan itu mengingatkan pada pandangan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang pernah menegaskan bahwa Islam di Indonesia tumbuh dari rahim kebudayaan. Muchlis mengutip pemikiran itu untuk menegaskan pentingnya memahami sejarah dakwah Islam yang membumi di Nusantara.

“Para ulama terdahulu menjadikan budaya sebagai sarana dakwah yang lembut. Islam yang tumbuh bersama gamelan dan rebana adalah Islam yang menenangkan dan mempersatukan," ujarnya.

Festival sore itu seolah menjadi wujud nyata dari pesan tersebut. Di antara peserta, tampak para pelajar, mahasiswa, dan seniman lokal yang antusias mempersembahkan karya. Mereka memadukan kasidah klasik dengan sentuhan modern, menampilkan semangat Islam yang terus relevan di era digital.

Muchlis kemudian menyampaikan tiga pesan penting untuk pengembangan seni kasidah dan budaya Islam. Pertama, menjaga warisan seni kasidah sebagai ruang tafakkur dan ekspresi kemanusiaan.

Kedua, menanamkan kecintaan terhadap seni budaya Islam kepada generasi muda, agar nilai-nilai moderat tetap hidup. Ketiga, membangun kolaborasi lintas pihak—antara pemerintah, lembaga keagamaan, seniman, dan masyarakat—untuk memperkuat ekosistem seni Islam yang produktif dan berkelanjutan.

“Festival Seni Budaya Islam tidak boleh berhenti pada seremoni. Ia harus menjadi gerakan kebudayaan yang menumbuhkan kreativitas, memperkuat identitas, dan memperdalam nilai keimanan," ungkapnya.

Menutup sambutannya, Muchlis mengajak seluruh peserta untuk terus menyalakan cahaya kasidah sebagai media dakwah yang lembut dan menyejukkan.

“Seni kasidah adalah cahaya yang menerangi zaman, menuntun hati, dan memperkuat jati diri umat di tengah perubahan dunia,” pungkasnya.

Dan sore itu, ketika irama rebana kembali menggema, pesan itu terasa bukan hanya dalam kata, tetapi juga dalam setiap denting yang menggetarkan hati — mengingatkan bahwa Islam dan budaya, seperti nada dan lirik, tak pernah bisa dipisahkan.

(Mwr/Mr)


Wilayah LAINNYA