Ada satu hadis yang sering menjadi rujukan di akhir tahun atau di awal tahun. Hadis ini merupakan hadis evaluasi diri, dan menjadi parameter atau alat ukur bagi diri dalam proses pengembangan diri untuk meningkatkan ibadah ke depan. Keberuntungan dan kerugian yang didapatkan seseorang, itu sangat tergantung terhadap kemauan yang ada dalam diri seseorang, bahwa perubahan menurut Al Qur'an "Bahwa sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib seseorang kecuali mereka merubah apa yang ada dalam dirinya,". Ini sangat sejalan hadis Nabi yang menjadi rujukan, para Da'i atau Muballigh dalam menyampaikan pesan-pesan keagamaannya.
Hadis ini tiga kalimat tapi dalam satu napas, yakni yang pertama, "man Kana yaumuhu misla amsihi fahuwa magbunun", yang artinya bahwa siapa yang hari ini, sama dengan hari kemarin maka dia masuk kategori tertipu. Artinya bahwa amal kebaikannya itu tidak pernah mengalami peningkatan, stagnan, tidak ada usaha untuk memperbaiki atau meningkatkan ibadahnya, baik ibadah yang sifatnya langsung kepada Tuhan, maupun ibadah yang berkaitan hubungan sosial kemasyarakatan. Menurut Nabi itu kategori tertipu, karena tidak adanya usaha untuk merubah atau meningkatkan kualitas ibadah yang kita laksanakan selama ini.
Mungkin kalau kita ibaratkan dalam melaksanakan shalat, mereka hanya melaksanakan yang wajib saja, tanpa pernah ada usaha untuk menyempurnakan ibadahnya dengan shalat-shalat sunnat qabliyah dan ba'diyah, dan kaitannya dengan ibadah sosial, hendaknya memperbanyak jalinan silaturrahim dan membiasakan diri untuk terlibat urusan kemasyarakatan dan membantu sesama saudara yang membutuhkan bantuan yang intinya adalah bermanfaat untuk orang, karena orang yang terbaik adalah yang punya manfaat terhadap orang lain.
Kemudian yang kedua, "man kana yaumuhu syarran min amsihi fahuwa mal'unun", siapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin maka dia masuk kategori yang dilaknat. Dalam pandangan hadis ini, seseorang yang yang mengalami penurunan akses dalam hal ibadah dan akses sosialnya juga mengalami drop, akses ibadahnya dan akses sosialnya, kategori semacam ini dalam pandangan Nabi dan ajaran dasar agama, tidak mendapatkan pujian di sisi Nabi, bahkan Nabi memberikan legitimasi sebagai manusia yang mendapatkan stigma negatif yaitu manusia mendapat laknat dalam pandangan agama. Agama sudah memberikan petunjuk, namun manusia belum maksimal dalam memahami petunjuk tersebut, sehingga manusia dalam peribadatannya kurang maksimal dalam menterjemahkan pesan-pesan agama, dan mengalami penurunan dalam menjalankan ajaran agama. Ini adalah suatu kecelakaan dalam beragama, bilamana mengalami penurunan akses dalam menjalankan ajaran agama, orang semacam ini dalam pandangan masuk dalam kategori terlaknat suatu stigma yang kurang baik dalam pengamalan ajaran agama.
Kemudian kategori yang ketiga dan inilah kategori yang terbaik, "man kana yaumuhu khairan min amsihi fahuwa rabihun," ini adalah kategori yang tertinggi dalam menyikapi peningkatan manusia dalam beribadah. Orang yang selalu punya semangat dalam peningkatan ibadahnya kepada Tuhan, pendekatan dalam keberagamannya adalah pendekatan yang holistik atau paripurna. Bukan saja pemahaman keagamaannya bagus, karena sangat aktif dalam mempelajari ilmu-ilmu yang dapat mendorong dalam memahami petunjuk-petunjuk agama, tapi juga berusaha untuk mengimplementasikan ajaran-ajaran tersebut dalam bentuk peribadatan dan amalan-amalan sosial.
Dalam bahasa kaum sufi ketika membagi manusia dalam mengamalkan ajaran agama ada ungkapan manusia yang terbaik " yadri wa yadri annahu yadri", dalam terjemahan bebasnya, adalah orang pintar, dan dia tahu bahwa dirinya pintar dan mengamalkan kepintarannya. Inilah kategori yang terbaik, hari ini lebih baik dari hari kemarin, tentunya dalam berbagai aspek bentuk peribadatan, baik ibadah ritual maupun ibadah sosial. Orang semacam ini masuk dalam kategori menurut ungkapan hadis di atas sebagai "rabihun", adalah yang orang-orang yang beruntung, tentunya keuntungan duniawi dan lebih-lebih keuntungan ukhrawi.
Jadi dalam menyikapi bagaimana menghadapi akhir tahun atau awal tahun, ada patokan atau rambu-rambu yang diberikan oleh agama, dan rambu-rambu itu punya konsekuensi terhadap kita, apakah kita akan masuk kategori sebagai orang yang "magbunun", atau mal'unun, ataupun rabihun, tentunya jalan terbaik dalam menyikapi adalah yang memandang bahwa hari ini menjadi lebih baik dari hari kemarin, orang yang dapat memaksimalkan pengamalan ajaran agamanya hari ini, lebih meningkat khususnya dari segi kualitas pengamalan dibandingkan dengan hari kemarin.
Oleh sebab itu, maksimalisasi dalam peribadatan sangat perlu dalam rangka untuk peningkatan kualitas ibadah, peningkatan kualitas berupa kualitas iman, sebagai dasar atau pondasi dalam beragama, kualitas iman itu akan sangat menentukan kualitas amal, atau amal yang terbaik adalah dilandasi dengan iman yang kuat atau iman yang istiqamah. Karena iman sifat fluktuatif atau dinamis diperlukan kebiasaan-kebiasaan yang baik untuk menjaga keimanan agar tetap ada penguatan supaya tetap konsisten berada di jalur kebenaran.
Iman yang dinamis dan tetap di jalur yang benar haruslah di dampingi ilmu, keduanya tidak dapat dipisahkan. Ilmu itu harus punya landasan keimanan, dan keimanan dinamis perlu disuburkan dengan aspek keilmuan.
(Bumi Pambusuang, 26 Desember 2024)