Kehidupan manusia pada dasarnya diwarnai oleh kecenderungan berlomba, bersaing bahkan tak jarang terjebak dalam ambisi perseteruan demi memperebutkan mahalnya "pakaian kebesaran". Motifnya bukan hanya karena agama memandang hal berpakaian itu bagian dari keniscayaan hidup (kewajiban ber-ikhtiyar demi membangun popularitas dan gemilangnya obsesi-obsesi Duniawi) melainkan pula karena "pakaian" merupakan syarat bagi seseorang untuk bisa dikenal dan dihargai, berdaya guna secara efektif bahkan mungkin dikultus dalam posisi-posisi tertentu.
Bila filosofi dan fungsi pakaian dapat menutup aurat diri (eksistensi yang terjaga dalam tatanan nilai-nilai kehidupan yang bermartabat), maka problem tentang pakaian pula berpotensi "menelanjangi" manusia dalam ragamnya krisis harga diri (legitimasi muatan QS. At-Tin: 4-6).
Dua kemungkinan tersebut bisa saja terjadi kapan, dimana dan bagi siapa saja. Semuanya bergantung pada bagaimana memaknai "pakaian itu apa" terlebih seperti apa cara manusia "mengenakannya" didalam perhelatan dinamika kehidupan.
Ketika "pakaian kebesaran" teranalogi dalam bentuk jabatan yang berkonsekuensi kekuasaan, pundi-pundi harta yang identik dengan kemewahan serta capaian ilmu yang menjadi kunci ketenaran, maka persepsi dan konsistensi moralitas manusia menjadi sentral penentu bagi perjalanan reputasi dan popularitas sosialnya. Hal ini juga membuktikan bahwa semua yang menjadi fasilitas kehidupan (apapun itu) tak lebih hanyalah "titipan sementara" yang justru akan dipertanggung-jawabkan kepada Tuhan dan manusia atas pengelolahannya (legitimasi QS. Yasin: 65).
Maka terkait keseimbangan eksistensi, Rasul berpesan "bekerjalah untuk Duniamu seolah engkau akan hidup selamanya". Potongan Hadits tersebut mensugesti manusia agar memaksimalkan etos kerja dan perjuangan hidupnya demi mendapatkan pakaian-pakaian kebesaran Duniawi dalam bentuk apapun. Akan tetapi, lanjutan Hadits tersebut juga mengingatkan agar prinsip-prinsip Ukhrawi dari setiap pekerjaan jangan sampai terpisahkan. Hal ini bukan tak mungkin terjadi jika kendali nafsu dan keangkuhan manusia yang mengambil alih peran dalam melegitimasi pakaian-pakaian kebesaran dirinya.
Bila dicermati, sesungguhnya agama mengajarkan pola hidup berorientasi "wasathiyah". Yaitu realitas kehidupan yang proporsionalitasnya seimbang dalam tatanan dua dimensi penting yakni kebahagiaan Dunia dan capaian kemaslahatan Ukhrawi. Bukankah muatan ini yang selalu menjadi standarisasi do'a dan pengharapan di keseharian kita ?.
Karena itu, mengedepankan nilai-nilai keseimbangan pada semua aktivitas hidup (apapun itu) tidak saja menjadi solusi masa depan, tetapi juga merupakan penjabaran dari tujuan kekhalifahan manusia di muka bumi (muatan QS. Al-Baqarah: 30, QS. Ad-Dzariyat: 56).
Pada intinya, sehebat apapun reputasi dan megah ragamnya pakaian kebesaran Duniawi dalam capaian ikhtiyar hidup manusia, cepat atau lambat, semuanya pasti akan berahir dalam dua kemungkinan. Entah kita yang akan ditinggalkan terkait batasan waktunya, atau pada saatnya nanti kita yang pasti meninggalkannya.
Saat jasad manusia telah terbujur kaku dalam bungkusan sehelai "kafan putih" tanpa corak dan label, maka sesungguhnya itulah cermin sejati dari pakaian kebesaran diri manusia yang terakhir menuju pertanggung-jawaban nilai kehidupan yang tak lagi mengenal negosiasi..... (legitimasi muatan QS. Al-A'raf: 26).
Ushini waiyyakum bitaqwallah, Wallahu a'lam bisshawab.