Antara Ikhlas dan Publikasi: Menimbang Ulang Cara Kita Berbagi

Oleh : Subhan Saleh (Guru MA Nuhiyah Pambusuang)

Sejatinya, tidak semua hal di dunia ini bisa dilihat dengan kacamata kuda—hitam putih, benar salah. Ada banyak aspek kehidupan, terutama yang berkaitan dengan perilaku dan tindakan manusia, yang tidak bisa dinilai secara kaku berdasarkan standar moral tunggal. Tidak semua perbuatan bisa dengan mudah diklasifikasikan sebagai baik atau buruk, karena kenyataannya, banyak yang berada dalam wilayah abu-abu, tergantung dari niat, konteks dan dampaknya.

Dalam hal berbagi, khususnya menjelang akhir Ramadan atau saat pemberian Tunjangan Hari Raya (THR), kita menemukan beragam cara dan pendekatan yang dilakukan oleh setiap orang. Masing-masing punya niat, latar belakang0 dan alasan tersendiri. Namun, di tengah keragaman itu, tampak pula nilai yang patut kita renungkan bersama.

Sejatinya, semangat berbagi—terutama dalam bentuk sedekah—dilandasi oleh nilai keikhlasan yang tinggi. Idealnya, berbagi dilakukan secara sembunyi-sembunyi, bahkan dalam ajaran Islam disebutkan bahwa tangan kiri tidak mengetahui apa yang diberikan tangan kanan. Ini adalah simbol dari kerahasiaan dan keikhlasan dalam memberi.

Namun kini, tak jarang kita temui fenomena berbagi yang dikemas secara publik dan mengundang perhatian luas, dengan berbagai dalih seperti "seru-seruan", "momen kebersamaan", atau "cara menebar kebahagiaan". Ada yang sambil berjoget, ada yang melemparkan uang ke udara untuk diperebutkan, bahkan tak sedikit yang menjadikannya sebagai konten di media sosial. Sekilas tampak menyenangkan, tetapi jika dicermati lebih dalam, kita mungkin bertanya: masihkah ini tentang berbagi, atau sudah berubah menjadi ajang pamer dan eksistensi?

Tentu setiap orang punya argumentasi sendiri yang terasa masuk akal dari sudut pandangnya. Namun, kita juga tak bisa menutup mata bahwa publikasi berlebihan dalam hal memberi bisa menyingkirkan nilai spiritual yang seharusnya menjadi inti dari tindakan itu sendiri. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda bahwa di antara tujuh golongan yang akan mendapat naungan Allah pada hari kiamat adalah mereka yang bersedekah dengan sembunyi-sembunyi, hingga tangan kirinya tak mengetahui apa yang dilakukan tangan kanannya. Ini menunjukkan betapa tinggi nilai kerahasiaan dalam beramal.

Adapun tentang keseruan atau hiburan, Nabi SAW pun telah mengingatkan dengan sabdanya, “Seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” Ini tentu bukan soal larangan untuk bergembira, melainkan pengingat agar kita senantiasa menjaga kesadaran akan realitas akhirat dan batas-batas moral yang seharusnya tetap dijunjung tinggi.

Kita tentu tidak dalam posisi untuk menghakimi cara orang lain dalam berbagi atau merayakan kebahagiaan, karna setiap orang melakukannya pada levelnya masing-masing. Namun, alangkah baiknya jika kita menjadikan nilai-nilai yang diajarkan Nabi sebagai cermin untuk menilai atau mengukur kembali level kesadaran kita masing-masing. Apakah cara kita berbagi masih dilandasi keikhlasan dan penghormatan terhadap sesama? Ataukah sudah terseret pada arus pembuktian dan pencitraan?

Mari kita renungkan: di manakah posisi kita saat ini dalam derajat spiritualitas? Sudahkah kita menempatkan nilai-nilai moral sebagai kompas dalam bersikap, ataukah kita terlalu larut dalam euforia tanpa batas?

Semoga momen berbagi, terutama di bulan suci dan hari raya, benar-benar menjadi sarana untuk mendekatkan diri pada Allah dan mempererat hubungan dengan sesama manusia, bukan sekadar tontonan yang mengaburkan nilai sejati dari memberi.


Opini LAINNYA

Bangkrut yang Sesungguhnya

Tarian THR, Menyerupai Kaum Yahudi?!

Benarkah Kita Menang di Hari yang Fitri?

Manisnya Iman

Ihtisaban

Ramadhan Sebagai Bulan Membaca

Generasi dan Ancaman Masa Depan Peradaban