Semenjak dunia teknologi memasuki masa transisi dengan hadirnya Revolusi Industri 4.0 dan saat ini menuju 5.0 sangat berdampak signifikan terhadap perilaku perilaku sosial masyarakat.
Dampak sosial yang dilahirkan begitu besar terutama dalam struktur sosial seperti terjadinya urbanisasi yang begitu massif.
Pergerakan masyarkat pedesaan menuju perkotaan begitu signifikan sehingga menciptakan pusat-pusat urban baru yang ramai dan dinamis. Sehingga dari hal tersebut pertukaran kebudayaan pun terjadi.
Selain itu, akses terhadap sosial media yang begitu mudah sehingga berdampak terhadap informasi yang diterima pun begitu cepat. Hal tersebut baik pada satu sisi akan tetapi ia juga buruk pada bagian lainnya.
Namun satu hal yang pasti bahwa pertukaran budaya yang begitu cepat terjadi bahkan hingga kepelosok pedesaan. Generasi Muda sudah terbiasa dengan perilaku yang menyimpang. Ia bagai air bah yang tak dapat terbendung.
Akibat dari pada dampak buruk dari budaya luar yang masuk ke generasi muda kita adalah terjadinya fenomena hamil di luar pernikahan. Sehingga ada yang menempuh jalan menikah walau dibawah usia dengan konsekuensi tidak tercata secara negara.
Ada pula yang menjalaninya dengan pasrah menerima keadaan. Menjadi single parent tanpa pernah menjalani rumah tanggga sebelumnya. Ini adalah realitas yang terjadi ditengah masyarakat kita.
Dan hingga saat ini, belum ada formula yang pasti untuk menekan fenomena buruk tersebut. Hamil diluar nikah.
Belum lagi praktik kumpul kerbau yang dilakukan oleh oknum pejabat yang menambah catatan buruk tontonan bagi para generasi muda.
Sehingga melahirkan perdebatan. Bagaimana status anak yang lahir diluar nikah tersebut. Apakah ia masih menjadi tanggungan si orang tua laki-laki secara mutlak atau malah sebaliknya, ia tak menjadi tanggungan si orang tua lelaki.
Hukum Negara
Undang-Undang adalah pijakan sebuah negara, termasuk dalam hal ini adalah Indonesia. Adapun aturan yang membahas tentang perkawinan yaitu Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Selain itu, terkait pengakuan anak juga diatur dalam KUHPerdata Pasal 280 dan seterusnya.
Dalam UU Perkawinan, Anak lahir diluar Nikah dijelaskan pada Pasal 43 ayat 1 yang berbunyi, “Anak yang lahir diluar perkawinan hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya dan keluarga ibunya.”
Menurut pasal ini, anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya memiliki hubungan hukum perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Ini berarti anak tersebut memiliki hak dan kewajiban hukum terkait ibunya dan keluarga ibunya, tetapi tidak memiliki hubungan hukum perdata dengan ayahnya atau keluarga ayahnya.
Walau dalam proses implementasinya pasal tersebut tidak mengikat karena implikasi dari putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang menyatakan bahwa anak yang lahir diluar nikah selain memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, ia juga memiliki hubungan perdata terhadap ayah dan keluarga ayah biologisnya.
Keputusan progresif dan kontroversi dari MK ini memang menuai pro dan kotra pada saat itu. Hingga seorang Dosen Fakultas Ilmu Agama Islam UII Yogyakarta, Muhammad Roy P membuat sebuah jurnal terkait Putusan MK tersebut.
Berdasarkan hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa berdasarkan Asas Mashlahah Najmuddin Al Thufi bahwa Putusan MK tentang status anak lahir di luar nikah yang menggunakan rasio untuk mendapatkan kemaslahatan adalah sesuai dengan puncak hakiki pensyariatan menurut Al Thufi.
Berbeda dengan itu, MUI berpandangan bahwa jika anak tersebut lahir diluar pernikahan yang tercatat dalam administrasi kenegaraan namun sudah nikah secara agama maka anak tersebut menjadi tanggungan kedua orang tuanya.
Akan tetapi jika anak tersebut lahir dari hasil perzinahan maka nasabnya dinisbatkan kepada ibunya saja tidak kepada bapaknya. Sebagaimana pemahaman umum dalam ajaran islam.
Begitu pula dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 100 Bab XIV berbunyi Anak yang lahir diluar pernikahan hanya memiliki hubungan nasab, waris dan nafkah dengan ibu dan keluarga ibunya.
Jika kemudian orang tua laki-lakinya ingin mengakui anak yang lahir diluar nikah, maka hal tersebut bisa dilakukan sesuai dengan KUHPerdata pasal 280 yang menyatakan bahwa “Dengan Pengakuan anak diluar kawin, terlahirlah hubungan perdata antara anak itu dan bapak atau ibunya.” Yang Selanjutnya syarat dan ketentuan pengakuannya diatur dalam pasal 284 KUHPerdata.
Akibat Hukum dari pengakuan anak lahri diluar nikah yaitu memberikan hak dan kewajiban hukum kepada anak, seperti nafkah, pendidikan dan waris.
Akan tetapi dalam pasal 283 disebutkan bahwa anak yang lahir sumbang (incest) atau hasil hubungan sedarah maka tidak dapat atau tidak boleh diakui.
Hukum Islam
Sumber hukum dalam Islam adalah AL Qur’an dan Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Perintah nikah dalam Al qur’an dijelaskan dalam surat An-Nur ayat 32. Ayat ini menekankan pentingnya pernikahan bagi mereka yang belum menikah dan bagi mereka yang memiliki hamba sahaya untuk menikahkan mereka.
Sedangkan didalam Al Hadits, Rasulullah SAW bersabda: “Wahai pemuda-pemuda, barangsiapa yang telah mampu, hendaklah ia menikah. Karena itu lebih menjaga pandangan dan lebih memelihara kemaluannya. Dan Barangsiapa yang tidak mampu, hendaklah ia berpuasa, karena itu menjadi wija (perisai) baginya.”
Hadits ini menegaskan bahwa menikah adalah cara untuk memelihara kesucian diri dan pandangan, serta memberikan pahala kepada orang yang menikahi hamba sahaya.
Secara garis besar bahwa tujuan dari pada menikah ialah ibadah yang menyempurnakan separuh agama. Menjaga kesucian diri dan mata. Melestarikan keturunan dan menjaga kelangsungan hidup manusia dan yang paling utama ialah menghindarkan manusia dari perbuatan zina.
Adapun anak yang lahir dari hubungan tanpa ikatan perkawinan para imam mazhab pada umumnya berpendapat bahwa anak yang lahir dari perzinahan tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya.
Hal tersebut diperkuat didalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud. “Nabi saw bersabda, “Bahwa anak hasil dari zina hanya dinasabkan pada ibunya saja”.
Sejalan dengan hal tersebut, imam syafi’i mengatakan, “Sesungguhnya Allah swt menegaskan dalam Kitab-Nya, bahwasanya anak yang lahir dari hasil zina tidak dinasabakan pada bapaknya, tetapi dinasabkan pada ibunya, tetap akan mendapatkan kenikmatan dari Tuhannya sesuai dengan ketaatanya, bukan ikut menanggung dosa perbuatan orang tuanya”.
Imam Nawawi juga menjelaskan bahwa, “Sesungguhnya hukum anak lahir hasil zina adalah anak li’an, karena ketetapan nasabnya adalah nasab ibunya, bukan dengan nasab bapaknya. Maka status hukumnya adalah anak yang li’an”.
Akan tetapi terdapat perbedaan pendapat mengenai hak-hak lainnya, seperti hak waris dan nafkah. Walau demikian, hal yang perlu diketahui bahwa dalam istimbat hukum, ulama menetapkan dan menghukumi suatu masalah pada dasarnya harus merujuk pada pendapat mayoritas. Karena pendapat mayoritas lebih diterima keabsahannya dibandingkan pendapat yang minoritas.
Berdasarkan hadits nabi saw. Dan pendapat imam syafi’i diatas, maka anak yang lahir seperti ini akan mempunyai akibat hukum tidak adanya hubungan nasab dengan bapaknya. Anak itu hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya.
Bapaknya tidak wajib memberikan nafkah kepada anak itu, namun secara biologis ia tetap anaknya. Jadi hubungan yang timbul hanyalah secara manusiawi, bukan secara hukum. Dan juga tidak ada saling mewarisi dengan bapaknya, karena hubungan nasab merupakan salah satu penyebab kewarisan.
Hal yang paling utama ialah si bapak tidak dapat menjadi wali bagi anak diluar nikah. Apabila anak tersebut adalah seorang perempuan dan sudah dewasa lalu ingin menikah, maka ia tidak berhak dinikahkan oleh bapak biologisnya.
Secara garis besar kita bisa melihat benang merah antara Hukum Positif dan Hukum Islam bahwa anak yang lahir diluar pernikahan yang sah maka si anak tersebut tidak memiliki hubungan perdata atau hubungan nasab dengan bapaknya melainkan kepada ibunya.
Sehingga akibat dari pada kondisi tersebut berimbas kepada konsekuensi bahwa anak tersebut tidak menjadi tanggungan bapaknya kecuali pada kondisi tertentu si bapak ingin mengakui sebagai anak maka secara hukum positif dapat di tempuh jalur yang telah ditentukan.
Pada dasarnya, manusia diciptakan untuk saling berpasangan dan menjaga kelangsungan hidup dengan terus berproduksi. Dan sejalan dengan hal tersebut, ada tuntunan yang harus dilalui baik secara duniawi maupun agama.
Manusia tidak bisa terlepas dari nilai-nilai norma yang telah berlaku. Terlebih jika berkaitan hubungan satu dengan yang lainnya dalam nilai kesusilaan. manusia harus menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut.
Jika ingin berhubungan layaknya sebuah pasangan suami istri maka harus menikah dulu agar diakui secara agama dan negara. Dan sebelum menikah, harus fahami terlebih dahulu syarat dan rukun yang harus dipenuhi. Dan yang paling penting adalah kemampuan didalam berumahtangga.
Menikah adalah sesuatu yang sangat sakral karena ia adalah ibadah yang dilakukan secara bersama selama seumur hidup. Dan seumur hidup itu adalah perjalanan yang begitu panjang dan tidak mudah sehingga diperlukan persiapan yang cukup matang. Karena menikah bukan hanya tentang si bapak dan si ibu melainkan masa depan sang anak yang akan pertaruhkan.