Tradisi Intelektual Mati Suri

Oleh : Ilham Sopu

Islam sangat mengedepankan tradisi intelektual atau tradisi keilmuan dalam menjalankan proses beragama. Wahyu pertama yang di terima oleh Muhammad saw dan pengangkatan Beliau sebagai Rasul adalah dorongan untuk pengembangan tradisi intelektual, yaitu perintah untuk membaca. Dan perintah ini diulang sebanyak dua kali oleh malaikat Jibril kepada Muhammad saw, di lima ayat turunnya wahyu pertama. Dan ini  adalah bentuk peneguhan dari Tuhan yang dimediasi oleh Jibril. Betapa Islam diawal perkembangannya sangat menekankan keilmuan dalam peradabannya. Inilah yang menjadi dasar Nabi dalam mengembangkan keilmuan kepada masyarakat yang dihadapi yaitu masyarakat Makkah dan masyarakat Madinah.

Implementasi iqra' yang disampaikan Jibril kepada Muhammad saw, itu menjadi misi utama Nabi dalam mengembangkan tradisi peradaban Islam. Tradisi iqra' yang dikembangkan oleh adalah tradisi iqra' yang tidak terlepas dari nilai-nilai spiritual atau nilai-nilai ketauhidan. Itulah sebabnya dalam perintah iqra' itu diikuti dengan kata "Bismi rabbik", artinya tradisi membaca sebagai simbol ilmu pengetahuan mesti di iringi oleh dengan nama Tuhan. Itulah implementasi iqra' yang didapatkan oleh Nabi sewaktu berada di gua hira.

Tradisi intelektual yang diinisiasi oleh Nabi, dilanjutkan oleh para sahabat, tabiin, dan ulama-ulama sesudahnya, sampai kepada masa Al Ghazali, Ibnu Rusyd dan ulama-ulama lainnya. Kemajuan peradaban Islam tidak terlepas dari metode yang dikembangkan oleh Nabi, dan para ulama yang punya kemauan yang kuat terhadap tradisi intelektual Islam yakni tradisi iqra' yang diikuti oleh bismi rabbik, yaitu dengan nama Allah. Itulah sebabnya ketinggian derajat disisi Tuhan, itu sangat terkait dengan faktor keimanan dan keilmuan yang dimiliki oleh seseorang.

Bagaimana pengembangan tradisi intelektual hari ini, setelah empat belas abad ditinggalkan oleh Nabi, adakah ghirah para generasi hari ini untuk melanjutkan tradisi intelektual yang telah ditinggalkan oleh para generasi terdahulu. Ini adalah suatu pertanyaan klasik yang sering diangkat untuk memancing kembali semangat generasi hari ini untuk lebih fokus di bidang keilmuan. Dalam konteks keindonesiaan pra kemerdekaan, pengembangan intelektual berjalan secara individu belum banyak lembaga atau organisasi yang secara khusus yang membidani pengembangan intelektual. Hanya beberapa tokoh yang punya minat dalam pengembangan tradisi intelektual.

Pada zaman pasca kemerdekaan, mulailah banyak muncul organisasi keagamaan atau lembaga kemahasiswaan yang secara khusus fokus dalam mengembangkan tradisi keilmuan kepada para anggotanya. Di kampus-kampus mulai menjamur kajian-kajian keagamaan yang dipelopori oleh para aktifis kampus yang punya ghirah yang kuat untuk mengembangkan intelektual di dunia kampus atau perguruan tinggi. Di dunia kampus di era 70 an, khususnya kampus besar di Indonesia seperti UI, UGM, ITB, UNPAD, IAIN Syahid, IAIN Sunan Kalijaga, berdiri lembaga-lembaga kajian kampus yang merupakan ikon keilmuan di kampus.

Lembaga-lembaga kajian yang dimiliki oleh kampus menjadi tempat para mahasiswa dalam pengembangan tradisi intelektual mereka. Lembaga-lembaga tersebut, dimotori oleh para intelektual muda, yang punya kapasitas keilmuan yang mumpuni dan kebanyakan adalah lulusan perguruan tinggi ternama di luar negeri. Katakanlah misalnya kelompok kajian "Salman ITB" yang dimotori Imaduddin Abdurrahim seorang cendekiawan ternama dikenal sebagai mujahid dakwah. Kehidupan intelektual di kampus pada masa itu, lebih banyak berkiblat ke kelompok-kelompok kajian tersebut, dan memberikan warna pemikiran kepada alumni-alumni perguruan tinggi itu.

Begitupun dengan organisasi-organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan juga banyak memberikan warna pemikiran keislaman terhadap para kadernya di masing-masing organisasi tersebut. Di akhir tahun 60 an atau awal 70 an, kegiatan-kegiatan diskusi keagamaan sangat hidup, khususnya dalam tradisi pemikiran Islam. Salah satu tokoh yang menjadi penarik gerbong kegiatan intelektual pada waktu itu adalah Nurcholish Madjid yang biasa di sapa Cak Nur. Kehidupan kajian pada masa itu sangat hidup, di mana Cak Nur menjadi tokoh sentral yang kerap melontarkan pemikiran-pemikiran baru yang melawan arus dengan pemikiran-pemikiran yang sudah ada sebelumnya.

Tokoh-tokoh seperti Cak Nur, Johan Effendi, Munawir Syadzali, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Buya Syafi'i Maarif, Dawam Rahardjo, Jalaluddin Rakhmat, Quraish Shihab, Amin Rais, Harun Nasution, banyak mewarnai tradisi pemikiran Islam pada era 80 an sampai 90 an, dalam konteks keindonesiaan pada masa  ini betul-betul kajian-kajian keislaman hidup. Karena tokoh-tokoh tersebut, disamping sebagai tokoh intelektual juga mereka adalah aktivitas-aktivitas kampus dan pemimpin organisasi keislaman yang berhasil menyatukan visi organisasi dengan kajian-kajian keislaman kontemporer.

Lalu bagaimana dengan kondisi hari ini, apakah kajian-kajian di kampus-kampus atau di organisasi keislaman masih hidup?, inilah yang menjadi tanda tanya besar. Kehidupan kampus semakin menjamur diberbagai daerah di Indonesia, tentu saja ini adalah hal positif, karena pendidikan lebih mudah diakses oleh anak bangsa. Di satu sisi sangat memberikan harapan dalam dunia pendidikan di Indonesia, tapi di sisi yang lain, sangat minim kajian-kajian keagamaan atau kajian-kajian yang dapat menambah wawasan keilmuan bagi seorang mahasiswa yang akan menjadi aset bangsa di hari-hari yang akan datang.

(Bumi Pambusuang, 18 April 2024)


Opini LAINNYA

Antara Kefakiran dan Kekufuran

Tradisi Intelektual Mati Suri

Orientasi Sosial Keimanan

Belajar Islam Ke Prof Harun Nasution

Niat Yang Terbelokkan

Burhanuddin Hamal : Perang Terbesar

Internalisasi Nilai-Nilai Ramadhan