Gagasan kurikulum berbasis cinta oleh Menteri Agama, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, membuka ruang baru dalam diskursus pendidikan nasional. Di tengah kurikulum yang selama ini cenderung rasionalistik dan kognitif, hadirnya pendekatan afektif ini terasa seperti embun yang menyegarkan. Namun pertanyaannya: bagaimana implementasinya dalam praktik nyata, terutama dalam pembelajaran bahasa?
Untuk menjawab ini, mari kita tengok teori-teori bahasa (nadhzariyyaat al-lughah), baik klasik maupun kontemporer, yang ternyata memiliki irisan kuat dengan semangat kurikulum cinta.
Bahasa sebagai Manifestasi Cinta: Perspektif Filosofis
Bahasa, dalam pandangan filsuf Ludwig Wittgenstein, bukan hanya alat komunikasi, tetapi cermin dari dunia batin kita. Kalimat terkenalnya, “The limits of my language mean the limits of my world,” menyiratkan bahwa bahasa bukan sekadar struktur, tapi juga penampung nilai, emosi, dan cinta.
Dalam kurikulum cinta, bahasa tidak diajarkan sebagai kumpulan aturan kaku. Ia diposisikan sebagai saluran cinta dan empati, tempat siswa mengekspresikan isi hati, memahami orang lain, dan merawat hubungan sosial.
Teori Behaviorisme vs Humanistik: Dimana Cinta Berada?
Teori behavioristik ala Skinner dan Pavlov menganggap bahasa sebagai perilaku yang dipelajari melalui teori stimulus, respons and reinforcement (S-R-R). Dalam konteks ini, belajar bahasa adalah soal pengulangan, koreksi, dan penguatan. Namun, pendekatan ini sering kali mengabaikan perasaan dan motivasi siswa. Kurikulum cinta menolak pendekatan semata-mata mekanis ini, dan lebih sejalan dengan teori humanistik yang dikembangkan oleh tokoh seperti Carl Rogers dan H.H. Stern.
Rogers percaya bahwa belajar yang bermakna hanya terjadi saat siswa merasa diterima dan dicintai. Maka dalam pembelajaran bahasa, guru harus menciptakan iklim afektif yang positif—di mana siswa tak takut salah, dan merasa dihargai sebagai individu.
Teori Sosiokultural: Bahasa, Relasi dan Kepekaan Sosial
Vygotsky menekankan bahwa: bahasa berkembang melalui interaksi sosial. Bahasa bukan hanya alat berpikir, tapi juga media membangun hubungan.
Dalam kurikulum cinta, konsep ini menjadi sangat relevan. Bahasa diajarkan tidak hanya agar siswa bisa berbicara, tetapi agar mereka dapat memahami, merasakan, dan membina kedekatan dengan orang lain. Proyek kolaboratif, dialog reflektif, dan teks-tema kasih sayang menjadi sarana menumbuhkan kepekaan sosial lewat bahasa.
Bahasa Cinta dalam Tradisi Islam
Dalam konteks pendidikan agama, bahasa juga memikul beban spiritual. Bahasa Arab, sebagai bahasa Al-Qur’an, sarat dengan dimensi etis dan kasih sayang. Ayat-ayat seperti:
“Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya’: 107)
mengandung muatan cinta yang dapat diajarkan melalui pendekatan bahasa yang reflektif dan kontekstual.
Dengan demikian, pengajaran bahasa Arab tidak boleh hanya berfokus pada morfo-syntax (nahwu sharaf), tetapi juga pada nilai-nilai ruhani yang terkandung dalam teks-teks suci.
Menghidupkan Cinta dalam Kelas Bahasa
Menerjemahkan kurikulum cinta dalam kelas bahasa berarti:
Menjadikan Bahasa sebagai Sarana Ekspresi Emosi Positif: Bukan hanya alat komunikasi kognitif, bahasa dipakai untuk mengekspresikan kasih sayang, empati, dan penghargaan terhadap sesama. Siswa diajak menulis atau berbicara dengan muatan rasa, bukan sekadar bentuk.
Menghadirkan Materi yang Bernuansa Kemanusiaan dan Kasih: Pemilihan teks bacaan dan latihan bahasa diarahkan pada tema yang membangun moralitas, kelembutan hati, dan kepekaan sosial.
Mengutamakan Relasi Pengajaran yang Humanistik: Guru menjadi teladan dalam berbahasa yang lembut, inklusif, dan mendidik dengan kasih. Interaksi di kelas mengedepankan rasa aman dan saling menghargai, bukan ketakutan atau hukuman.
Mengintegrasikan Refleksi dalam Aktivitas Berbahasa: Siswa dilatih menulis atau berbicara tentang pengalaman cinta yang mereka alami—baik kepada orang tua, guru, alam, atau Tuhan. Hal ini menumbuhkan kesadaran diri dan spiritualitas.
Mengapresiasi Proses, Bukan Hanya Hasil: Kurikulum cinta menggeser fokus dari sekadar benar-salah secara teknis ke arah penguatan makna dan ketulusan dalam penggunaan bahasa.
Menghubungkan Bahasa dengan Nilai-Nilai Agama dan Etika: Dalam konteks pendidikan agama, bahasa (terutama Arab) tidak hanya dipelajari untuk ibadah, tetapi juga untuk memahami pesan cinta ilahi dalam Al-Qur’an dan hadis.
Dengan menerjemahkan kurikulum cinta dalam kelas bahasa, proses belajar bukan lagi sekadar soal menyusun kalimat dan menghafal aturan, melainkan proses memanusiakan manusia lewat kata, rasa, dan makna. Bahasa menjadi jembatan hati, bukan sekadar alat komunikasi.
Cinta sebagai Kurikulum Jiwa
Bahasa bukan hanya tentang “apa yang dikatakan,” tetapi “bagaimana dan untuk apa” bahasa itu digunakan. Dalam kurikulum cinta, bahasa menjadi kendaraan untuk membentuk manusia yang lebih utuh—yang tidak hanya mampu berbicara, tetapi juga menyampaikan kasih, peduli, dan memahami dunia sekitar secara lebih halus dan mendalam.
Maka jika kurikulum cinta ingin benar-benar hidup, bahasa adalah pintu masuk yang paling tepat. Ia bisa menjadi alat membangun bukan hanya pemahaman lintas budaya, tapi juga jembatan antara hati-hati yang lama terasing dalam sistem pendidikan kita.
Kota Cinta Parepare, 27 Juli 2025