Samudra Keilmuan Gus Dur

Oleh : Ilham Sopu

Para ulama identik dengan keilmuan, secara hirarkis ulama merupakan pewaris para Nabi, dalam salah satu hadis Nabi dikatakan bahwa ulama itu adalah pewaris para Nabi. Secara keilmuan para ulama mewarisi keilmuan dari para Nabi dan para sahabat Nabi. Semangat dalam mengais ilmu para ulama tidak pernah surut dalam kehidupannya. Semangat dalam pencarian ilmu, para ulama itulah yang menjadikan peradaban Islam masa lalu sangat maju, suatu peradaban keilmuan dan kualitas keimanan yang menjadi usungan para cerdik cendekia pada masa itu. Prof Syafi'i Ma'arif yang akrab dipanggil Buya Syafi'i, menyebut peradaban fikri dan dzikir.  Kedua model peradaban ini adalah model peradaban yang tahan banting sejarah. Dengan menjadikan kedua model peradaban ini sebagai basis dalam membangun masyarakat, niscaya akan bertahan dan maju, seperti yang kita liat dalam peradaban masa kejayaan Islam.

Dalam konteks keindonesiaan, peran ulama dalam membangun peradaban keilmuan, berada di garda terdepan dalam memajukan model peradaban seperti diwariskan oleh ulama-ulama terdahulu. Setidaknya ada dua organisasi Islam yang banyak memberikan kontribusi terhadap kemajuan keilmuan di Indonesia, yaitu NU dan Muhammadiyah, disamping ada organisasi yang lain diluar keduat organisasi tersebut. Kedua pendiri organisasi tersebu yaitu NU dan Muhammadiyah adalah ulama besar yang banyak mewarnai pemahaman keislaman di Indonesia, diantaranya adalah Gusdur panggilan akrab KH Abdurrahman Wahid, dan Buya Syafii panggilan akrab Prof Dr Syafi'i Ma'arif, dan ulama-ulama atau cendekiawan-cendekiawan lainnya yang dimiliki kedua organisasi tersebut.

Diantara ulama dan cendekiawan yang paling familier di NU yaitu Gusdur, banyak hal yang disandang atau prototipe seorang Gusdur, ada yang menyebut Kyai, Ulama, Cendekiawan, Politikus, Budayawan, Seniman, pengamat bola, Sastrawan, tokoh kontroversial dan sebutan-sebutan lainnya. Label-label itu ada semuanya dalam diri seorang Gusdur, dia seorang ulama tradisional karena penguasaannya terhadap kitab-kitab klasik yang menjadi rujukan di pesantren-pesantren tradisional, Gusdur lahir di pesantren tradisional dan besar dalam pergumulan dengan kitab kuning yang menjadi dasar keilmuan pesantren-pesantren tradisional. Pengembaraan Gusdur dari satu pesantren ke pesantren yang lain adalah untuk menambah keilmuan yang ada di pesantren, karena antara satu pesantren dengan pesantren lainnya ada kesamaan dan ada perbedaan orientasi.

Hampir seluruh pesantren-pesantren tradisional punya kurikulum yang sama khususnya pembacaan kitab-kitab klasik seperti ilmu tata bahasa Arab, fiqh, hadis, ushul fiqh, tafsir. Itu adalah ilmu-ilmu dasar yang menjadi kurikulum inti dari pesantren tradisional dengan tetap menjadikan referensi atau rujukan oleh para pimpinan pesantren tradisional. Disinilah yang menjadi kekuatan alumni-alumni pesantren tradisional karena sangat terbiasa dengan pembacaan kitab-kitab klasik. Kelebihan yang dimiliki oleh seorang Gusdur disamping penguasaan dengan referensi kitab-kitab klasik juga sangat familier dengan ilmu-ilmu sosial modern.

Gusdur dikenal sangat kuat daya bacanya sejak di pesantren sampai pengembaraan intelektualnya ke luar negeri, dia tidak hanya mengkonsumsi buku-buku yang berbau agama tetapi buku-buku filsafat, sastra, seni, politik, budaya, dia baca. Itu yang menjadi orientasinya ketika berada di Mesir dan Irak sewaktu menuntut ilmu di sana. Di Mesir, Gusdur lebih banyak menghabiskan waktunya di perpustakaan, daya otodidak dalam belajar sangat kuat dalam diri Gusdur, setelah merasa cukup di Mesir, Gusdur lalu pindah ke Baghdad, salah satu kota yang dikenal sebagai pusat keilmuan pada waktu, Baghdad dikenal dalam sejarah sebagai pusat peradaban Islam pada masa Bani Abbasiyah, dan pernah mengalami kehancuran karena diserbu oleh tentara Mongol. Apa yang dilakukan Gusdur dipusat peradaban itu adalah sama ketika berada di Mesir, memanfaatkan waktu yang sangat berharga untuk mendalami sejarah peradaban Islam khususnya kajian kesusasteraan Arab dan sejarah peradaban dunia.

Secara formal Gusdur tidak menyelesaikan studi di perguruan tinggi seperti yang dilakukan oleh teman-temannya, tapi dia lebih tertarik mendalami keilmuan secara bebas lewat pembelajaran otodidak dan memanfaatkan daya kuat pembacaannya terhadap sesuatu ilmu. Itu adalah modal  besar yang dimiliki oleh Gusdur, karena tidak pernah kendor dalam pengkajian keilmuan, suatu warisan dari ulama-ulama terdahulu dalam semangat untuk memperdalam suatu keilmuan, dalam pencarian ilmu yang merupakan warisan dari berbagai ulama klasik pada zaman dulu, mereka melakukan perjalanan beratus-ratus kilometer hanya untuk menambah pundi-pundi keilmuan yang mereka miliki.

Warisan keilmuan yang telah diwariskan oleh para ulama terdahulu itu telah diteladankan kepada generasi kita pada hari ini, kontinuitas keilmuan dari generasi ke generasi terus bersambung tanpa terputus sampai hari ini, semangat tetap dipertahankan dalam proses pencarian ilmu, namun ada perbedaan-perbedaan cara atau metode yang ditempuh oleh pencari ilmu atau proses intelektual dalam menempuh pencarian ilmu. Suatu ironi bilamana ulama-ulama atau cendekiawan-cendekiawan hari ini mengalami stagnan dalam proses melahirkan karya-karya keilmuan.

Fasilitas-fasilitas dalam menciptakan karya tulis pada masa lalu itu sangat terbatas, namun dalam realitas, mereka tidak terkendala dengan fasilitas yang minim, justru mereka dapat berkarya dengan fasilitas yang sangat terbatas, dibandingkan dengan hari ini, kita dimanjakan oleh banyak fasilitas untuk dapat menghasilkan karya yang lebih produktif, namun itu kita tidak manfaatkan peluang yang begitu terbuka bagi kita.

Gusdur bukan hanya mahir dalam menghasilkan karya tulis, semasa pulang dari timur tengah, Gusdur banyak melakukan aktivitas dalam dunia tulis menulis, disamping juga sangat piawai dalam memberikan fasilitas kemanusiaan terhadap berbagai kelompok yang  butuh terhadap pendampingan kemanusiaan. Dalam pergaulan sosial kemanusiaan, Gusdur sangat aktif dalam memberikan bantuan pendampingan terhadap kelompok-kelompok pinggiran yang mengalami rasa ketidakadilan ditengah-tengah komunitas kebangsaan.

Itulah Gusdur, suatu model atau prototipe yang multi dimensi, manusia langka yang dibutuhkan kiprahnya dalam memberikan bantuan yang solutif terhadap negara atau bangsa yang majemuk ini. Gusdur telah meneladankan kepada kita semua, saatnya kita melanjutkan.

(Bumi Nuhiyah, 21 Agustus 2023)


Daerah LAINNYA