Di antara ikon budaya Mandar yang kajian sejarahnya cukup sentral dan relevan dengan pengembangan wawasan terkait hal kepemimpinan di semua skala, adalah tradisi MAPPATAMMA'.
Namun seiring waktu berjalan, pewarisan leluhur yang satu ini juga terancam kehilangan makna dan mengalami pergeseran nilai yang tadinya beresensi "tuntunan" menjadi sekedar "tontonan" belaka.
Hal ini sangat mungkin terjadi jika tak ada lagi jaminan bahwa generasi atau pemeran Totamma' yang diarak di atas punggung kuda penari adalah mereka yang sudah berkemampuan membaca Al-Qur'an dengan benar.
Karena itu, bila kita benar-benar ingin melestarikan efektifitas nilai budaya tersebut maka yang diperlukan adalah komitmen dan kemitraan bersama terkait Gerakan Bebas Buta Aksara Al-Qur'an (GBBAQ) di semua kalangan khususnya generasi muda.
Lebih dari itu, terkait rangkaian budaya Mandar pada umumnya yang bahkan akumulasinya sarat dengan kearifan lokal maka ikhtiyarnya tak cukup berfokus pada urusan-urusan peninggalan "accesoris" atau perhelatan kebudayaan yang hanya berorientasi euforia sesaat. Bukankah setelah itu, tak juga menyisakan motivasi yang signifikan dalam mengedukasi kepribadian terkait nilai-nilai Kemandaran ?.
Pada akhirnya harus dipahami bahwa kebesaran Mandar tak sekedar ada pada konsep atau cerita sejarahnya. Fakta sejatinya justru tercermin pada konsistensi penjabaran jati diri Kemandaran, khususnya di kepribadian mereka yang mengaku dirinya TOMANDAR.
Ushini waiyyakum bitaqwallah, Wallahu a'lam bisshawab.