Setiap tahun baru, para tokoh agama, cendekiawan atau para muballiig sangat sering mengutip suatu hadis yang sudah sangat familier di masyarakat bahwa bunyi hadis tersebut, "Barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin maka dia masuk kategori tertipu atau magbunun. Dan barang siapa yang hari ini lebih jelek dari hari kemarin maka dia masuk kategori orang yang dilaknat, Dan barang siapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin maka dia masuk kategori orang yang beruntung".
Dengan merujuk kepada hadis tersebut, dengan gampang kita dapat mengevaluasi diri terkait dengan posisi kita dalam memaknai kehidupan ini. Dan yang paling banyak mengetahui tentang posisi kita terhadap pengabdian kita kepada Tuhan atau kepada sesama manusia, dalam bahasa agama adalah ibadah adalah diri kita sendiri. Kita dapat menilai diri kita sendiri sejauh mana ibadah yang kita lakukan, apakah stagnan, menurun atau meningkat. Dan ini sangat terkait dengan kondisi keimanan kita, karena keimanan itu dinamis atau fluktuatif, ada proses naik dan turun. Dalam suatu hadis dikatakan bahwa iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang. Iman itu bertambah ketika kita banya melakukan ketaatan terhadap perintah-Tuhan. Dan iman itu berkurang ketika kita banyak melakukan kemaksiatannya atau banyak melanggar larangan-larangan Tuhan.
Secara mudah kita bisa membagi manusia terkait dengan amal perbuatan mereka, ada manusia yang magbunun atau tertipu atau rugi, ada manusia yang terlaknat atau mal'unun dan manusia yang rabihun atau beruntung. Pembagian manusia dengan merujuk hadis tersebut diatas, banyak terdapat di hadits-hadits yang lain. Begitupun dalam Al-Qur'an ada yang membagi manusia dalam tiga bagian, yaitu dalam surah Fathir ayat 32, disitu Tuhan mengklasifikasi manusia dalam tiga tingkatan yaitu dzalimun linafsi, muktasidun, sabiqun bil khairat. Bahwa manusia menurut ayat ini, ada manusia yang mendzalimi dirinya sendiri, yaitu manusia yang banyak melakukan perbuatan-perbuatan dosa dibanding dengan kebaikan yang mereka lakukan.
Ada juga manusia yang berada di level muktasidun atau tengah-tengah, dia melaksanakan kewajiban-kewajiban ibadah, tetapi belum melengkapi dirinya dengan ibadah-ibadah Sunnah, dan masih sering melaksanakan yang dalam istilah fikih yang makruh-makruh. Dan ada level tertinggi yaitu sabiqun bil khairat, berlombah dalam kebaikan, dalam tafsiran para ulama adalah, orang mengerjakan seluruh kewajiban dan sunnah-sunnah ibadah, meninggalkan yang makruh-makruh dan hal-hal atau jalan yang menuju kepada perbuatan yang mengarahkan ke perbuatan dosa.
Oleh sebab itu momentum tahun baru, pembagian-pembagian hirarkis pengelompokan manusia itulah yang menjadi patokan bermuhasabah dalam peningkatan kualitas kemanusiaan tahun-tahun kedepan. Dalam peningkatan kualitas kemanusiaan setidaknya ada tiga hubungan yang harus kita tingkatkan. Dalam bahasa Prof Komaruddin Hidayat, setidaknya ada tiga garis komunikasi yaitu dua yang berkaitan dengan eksternal yaitu habl min Allah dan habl min al-nas yaitu komunikasi dengan Tuhan dan komunikasi dengan sesama manusia.
Dan garis komunikasi yang ketiga yang sering dilupakan oleh manusia adalah habl min al-nafs, yaitu jalur komunikasi dengan diri sendiri. Jalur ini sangat penting, karena manusia itu punya potensi yang sangat luar biasa. Tuhan memberikan keistimewaan kepada manusia yang tidak diberikan kepada makhluk yang lain. Sewaktu Nabi Adam diciptakan sudah timbul ketidaknyamanan malaikat terhadap penciptaan Adam, karena sudah menjalankan menjalankan tugas yang telah dibebankan oleh Tuhan kepadanya. Namun ada sisi-sisi yang lain yang tidak terbaca oleh malaikat yang dimiliki oleh Adam. Tuhan hanya menyampaikan kepada para malaikat bahwa "Saya mengetahui apa yang kamu tidak ketahui". Lewat jawaban tersebut malaikat menyadari keterbatasan dirinya lewat keberadaan Adam.
Disinilah pentingnya untuk melakukan jalur komunikasi dengan diri sendiri atau habl min al-nafs. Dalam bahasa tasawuf term ini disebut muhasabah, melakukan introspeksi diri, banyak melihat diri kedalam, dengan begitu potensi diri akan bisa dikembangkan, dan akan terjadi perubahan-perubahan yang signifikan dalam proses pengembangan diri kearah yang lebih baik. Dengan banyak melakukan proses internalisasi atau proses pengenalan diri dari dalam akan lebih mudah untuk melakukan proses habl min Allah, sebagaimana dalam salah satu ucapan sufi, atau ada juga ulama menyebut sebagai sabda Nabi "Man arafah nafsahu faqad Arafah rabbahu", Barang siapa yang mengenal dirinya akan mudah mengenal Tuhan-Nya".
Ketiga jalur komunikasi ini, haruslah seimbang dalam proses pengembangan diri manusia, dimulai dari pengenalan diri atau komunikasi dengan diri sendiri, dengan mudah kita melakukan komunikasi dengan sesama manusia, kemudian komunikasi dengan Tuhan.
(Bumi Pambusuang, 7 Januari 2024)