Antara Kefakiran dan Kekufuran

Oleh : Burhanuddin Hamal

 

كَادَ اْلفَقْرُ أَنْ يَكُوْنَ كُفْرًا...
Kefakiran atau kemiskinan dekat dengan kekufuran (Hadits Nabi).

Ketika KEKUFURAN dimaknai sebagai realitas yang berpotensi "menutupi kebenaran" maka agama mengingatkan kita semua untuk mewaspadai bahayanya ancaman KEFAKIRAN (miskin raga terlebih jiwa).

KUFUR merupakan kebalikan dari SYUKUR. Kufur terhadap Tuhan bukan hanya ketika secara legal formil "tak mengimaninya" dalam keyakinan beribadah, melainkan indikasi tersebut juga terbaca lewat akumulasi kenyataan diri dan cara manusia mengolah kehidupan (hal apapun itu).

Di tataran kontekstual, kemiskinan tak hanya berkenaan dengan "lemahnya" kondisi ekonomi atau perkara kehidupan berdimensi materi semata. Lebih dari itu, situasi jiwa manusia juga memerlukan perawatan intensitas "agamis" agar tak menjadi pusaran hakiki dari fakta-fakta kemiskinan.

Secara empirik, ketidak-stabilan mentalitas manusia berkemungkinan "memperdayanya" dalam ragam bentuk perilaku dan kenyataan perbuatan yang justru bertentangan dengan makna-makna syukur kepada Tuhan (legitimasi muatan QS. Ibrahim: 7). Bukankah tanpa konsistensi iman plus nilai SIRI' yang bersinergi, maka realita kemiskinan terkadang membutakan mata hati manusia hingga tak lagi bisa memilah antara yang seharusnya menjadi PILIHAN dengan yang "tak semestinya" dilakukan ?

Demi tuntutan "perut" dan ambisi Duniawi lainnya yang kerap menghasut bahkan menjebak manusia dalam dilema kehidupan, tanpa sadar bahkan dengan sengaja pun HARGA DIRI tak jarang dipertaruhkan.

Karena itu, terkait persaingan popularitas dan relatifitas warna-warni kehidupan yang meskipun statusnya "sementara", kita tentu berharap menjadi hamba-hamba yang Mardhiyyah berhati lapang. Level tersebut tidak saja menghadirkan manusia-manusia yang pandai bersyukur tetapi juga tak mengkufuri Tuhan didalam segala kategori.

Selain mentalitas sosok yang demikian, tidak ada lagi yang diharapkan bisa "mendamaikan" manusia dengan segala bentuk ketetapan hidup. Pasang-surutnya dinamika kehidupan hanya akan bisa direspon dengan baik oleh berfungsinya prinsip syukur serta pemaksimalan etos kerja yang positif.
Lebih dari itu, pencapaian kebahagiaan di semua situasi hidup demi menghindari ancaman kefakiran (miskin raga terlebih jiwa) bergantung pada sejauh mana manusia mampu "berprasangka baik" kepada Tuhan. Sugesti ini termuat didalam QS. Al-Baqarah: 152-157.

Ushini Waiyyakum bitaqwallah, Wallahu a'lam bisshawab.


Opini LAINNYA